Senin, 24 Agustus 2015

Dua Tahun Bersama Bank Syariah, Puaskah?

Struk Antrian di Bank Syariah yang Paling Berkesan
(dokumentasi pribadi)


Perkenalkan nama saya Retno. Perkenalan saya dengan bank syariah cukup mengesankan karena bermula dari proses rekrutmen karyawan di tahun 2012. Sayangnya proses perkenalan saya ini berakhir di tahap interview direksi tingkat propinsi. Berbekal sedikit pengetahuan yang dipelajari selama proses rekrutmen, akhirnya saya mantap bergabung pada sistem Keuangan Syariah yang beroperasi di Indonesia. Tahun 2013 yang lalu, saya membuka rekening syariah melalui teman kuliah yang bekerja di salah satu Bank Syariah, tepatnya di Bank Syariah yang dulu saya lamar. Waktu itu kebetulan sedang ada promo bebas biaya administrasi bulanan. Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi landasan utama membuka rekening di bank ini. Titik terpentingnya tidak lain adalah kepercayaan saya pribadi pada salah satu lembaga keuangan syariah ini.

Rasa percaya saya pada Lembaga Keuangan Syariah ini pun berbuntut manis. Selama dua tahun menjadi nasabah Bank Syariah, saya tidak pernah sekalipun mendapatkan gangguan dari penelpon tidak bertanggungjawab. Proud! (1). Mungkin bagi orang lain hal ini terdengar sepele, namun tidak bagi saya. Bagi saya hal tersebut menyimpulkan suatu hal yang sangat penting. Bahwa keamanan database nasabah Bank Syariah pilihan saya ini dikelola dengan sangat baik.

Mmmm, buktinya apa Nok?”. Kembali ke point 1.

Kembali ke perkenalan saya dengan lembaga Keuangan Syariah. Ketika saya membuka rekening di tahun 2013 yang lalu, saya minta dibuatkan rekening tanpa disertai kartu ATM dan ternyata bisa (2). Alasannya sebenarnya sangat klasik. Saya masih tinggal di rumah orang tua dan saya belum membutuhkannya. Dari sini saya berkesimpulan bahwa pembukaan rekening bisa disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Dengan raut muka sedikit keheranan teman saya tersebut mengiyakan permintaan "aneh" saya.

“Baru kamu lho jeng yang buka rekening tanpa ATM”.

Lalu saya ucapkan sebuah jawaban pamungkas, “Mau hemat”. Waktu itu godaan awal bulan hanya bisa saya hindari dengan cara ini. 

Sayang, seolah bisa ditebak jauh-jauh hari, keadaan ini tidak berlangsung selamanya. Sekitar setahun kemudian akhirnya saya membuat kartu ATM. Menariknya, di Bank Syariah pilihan saya ini bikin kartu ATM dapat dilakukan di cabang mana saja. Tidak harus di cabang tempat kita membuka rekening (3). Kebijakan ini tentunya sangat memudahkan nasabah.

Meski di luar sana masih terjadi perdebatan yang belum berkesudahan terkait perbedaan yang riil dan signifikan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional, toh memiliki rekening di salah satu Bank Syariah tetap menjadi salah satu pilihan saya. Rekening di Bank Syariah saya daftarkan di bagian keuangan kantor saya. Jadi rekening inilah yang ditransfer dari pihak kantor tempat saya bekerja. Dan ternyata, saya adalah satu-satunya karyawan yang memakai rekening berbeda, pakai Bank Syariah pula. Bagi saya ini sangat sesuatu. Toh kepotong 5 ribu rupiah setiap bulannya bukan menjadi hal yang memberatkan.

Sebentar, tapi kok tadi ada kalimat salah satu ya Nok?”.

Oh itu. Ya karena saya juga masih memiliki rekening lain di Bank Konvensional. Salah satu buku tabungan saya di Bank Konvensional pun masih masuk kategori anak yang tidak ada fasilitas kartu ATM-nya. Jadi kalau mau ambil uang harus ke bank-nya langsung. Kalau tidak kepepet, tentu akan tidak terlalu bersemangat untuk mengambilnya. Ini trik saja sih.

Oke, lanjut ya. “Terus masalah ribanya gimana?”.

Dari awal saya membuka rekening, saya tidak ada sedikitpun niatan untuk menikmati ataupun memanfaatkan bunga bank-nya. Saya mempertahankan rekening di bank konvensional semata-mata karena pelayanannya saya anggap sangat baik.

“Memangnya sebaik apa sih Nok?”.

Oke, karena menjadi nasabah baik di salah satu bank syariah dan dua bank konvensional, saya mencatat beberapa perbandingkan terkait pelayanan keduanya. Berikut beberapa poin penting versi saya.

Sebenarnya saya bukan tipikal orang yang suka berhura-hura. Terlebih lagi saya masih menumpang hidup di rumah orang tua sehingga pengeluaran bulanan saya juga terbilang minimalis. Meski tidak sering, namun tentunya saya juga pernah mengambil uang secara manual alias melalui petugas teller. Biasanya jika mengambil dalam jumlah yang cukup banyak atau jika mesin ATM-nya sedang offline.

Meski berpengeluaran minimalis, namun mesin ATM adalah hal yang mutlak diperlukan bagi sebagian besar nasabah bank. Apalagi jika sedang membutuhkan dana segar di waktu-waktu tertentu. Di luar jam operasional bank misalnya. Atau ketika membutuhkan dana segar dalam jumlah yang sedikit. Kan malas ya kalau ambil manual melalui petugas teller dengan nominal yang tidak terlalu besar. Karena beragam alasan inilah mesin ATM tidak lain merupakan representasi dari pelayanan bank itu sendiri, baik itu berbasis syariah ataupun konvensional.

Kalau membandingkan hal ini, mungkin Anda sudah dapat memperkirakan tema selanjutnya yang ingin saya bahas. Ya, benar, tentang jumlah mesin ATM. Terkait hal ini, saya mau cerita tentang diri sendiri saja ya. Jarak rumah orang tua ke tempat kerja kira-kira 25 km. Dari jarak yang terbilang cukup jauh ini ternyata sepanjang rute perjalanan tersebut saya hanya menemukan 3 mesin atm bank syariah tempat saya menabung. Satu saya lewati di rute berangkat dan satu lagi saya lewati di rute pulang. Jumlah ATM tersebut jauh berbeda dengan jumlah atm bank konvensional yang saya temui (4). Tentu saja jika dibandingkan dengan jarak yang sama. Perbedaannya pun cukup mencolok. Bisa dua atau tiga kali lipat lho!

“Tapi kan ATM Bersama banyak Nok?”.

Iya sih. Tapi di sini (Jogja), biaya administrasinya masih bisa ditukar dengan 4 porsi serabi kocor favorit atau 10 buah kue putu ayu langganan saya. Kalau sebulan ambil tiga atau empat kali di tempat yang sama kan sayang!

Oiya, meski terkesan sepele, namun bagi saya pertanyaan petugas teller terkait pecahan rupiah yang akan diambil itu adalah hal yang cukup penting. Kan tidak enak ya kalau sudah disodori uang ratusan ribu tapi mau menukarnya dengan pecahan yang lebih kecil, 50 ribuan misalnya. Bukan sok kritis sih, ternyata pertanyaan uangnya mau diambil dalam pecahan 50 atau 100 ribuan hanya saya temui di bank konvensional saja (5). (Note: Saya hanya memiliki satu rekening di bank syariah, jadi saya kurang mengetahui operasional bank syariah yang lainnya. Begitu pula bank konvensional pembandingnya. Saya hanya menggunakan 2 bank konvensional. Cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi dengan membandingkan pelayanan sebuah bank syariah dengan sebuah bank konvensioal tempat saya menabung.)

Meski demikian, bagi saya pribadi tetap ada banyak alasan untuk mempertahankan rekening di bank syariah. Salah satunya karena moment yang saya temui belum lama ini. Pagi itu terdengar samar-samar sebuah pertanyaan dari petugas teller.

“Dua ratus ribu rupiah ya Pak?”, tanya petugas teller.

Lalu sang bapak berpakaian sederhana dan bersahaja itupun mengangguk. Dalam hati saya berkata, “Ternyata bank syariah pilihan saya ini juga sudah dipercaya beragam kalangan masyarakat”. Proud! Bukannya saya menjugde beliau kaum berada atau biasa. Bukan juga karena jumlah uang atau sederhananya pakaian yang dikenakan. Tapi entah kenapa pagi itu ada getaran yang terasa berbeda. Mungkin bagi orang lain jumlah 200 ribu rupiah terbilang sedikit atau bahkan sangat sedikit. Tapi bagi saya ada nasabah yang mengambil empat lembar uang lima puluh ribuan langsung di bank tergolong sangat sesuatuAda rasa haru yang menyelimuti kalbu. Entah mengapa, melihat moment ini membuat saya semakin yakin bahwa suatu hari nanti prinsip keuangan syariah bisa sukses di Indonesia (6). Oiya, satu lagi, ada baiknya jika Bank Syariah membuka kerjasama secara langsung dengan BPJS Kesehatan (7). Tidak perlu dijelaskan apa manfaatnya bukan? 

Terakhir, ada hal mengejutkan yang saya alami dengan Bank Syariah. Hal ini semakin mempererat jalinan silaturahmi kami.

“Dapat hadiah umrah Nok?”.

"Oh, yang ini belum. Semoga suatu hari nanti dapat".

Siang itu saya mendapatkan telepon dengan sapaan "Assalamualaikum" yang berlanjut dengan pertanyaan, “Benar dengan ……..?”. Penelpon tersebut menanyakan identitas saya. Saya masih terdiam. Maklum saja dulu ada yang mengaku dari sebuah lembaga keuangan yang menagih tunggakan kartu kredit yang tidak pernah saya buat. Waktu itu penelpon gelap tersebut menghubungi lebih dari satu kali. Saya pun dibuat jengkel karenanya. Dari pengalaman inilah tema keamanan data nasabah saya ulas di poin pertama.

Karena dulu si Mbak penelpon gelap juga tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu, kali ini saya merasa sedikit was-was. Lalu dengan segera saya bertanya, Maaf, dengan siapa saya berbicara?”.

Akhirnya laki-laki tersebut menjelaskan bahwa ia adalah karyawan dari Bank Syariah tempat saya menabung.  Lalu ia pun bertanya terkait pelayanan Bank Syariah yang saya alami. Karena masih bingung, saya pun bertanya, “Ada apa ya Mas?”.

“Ini SIM Ibu ketinggalan”, jawabnya pelan.

“Deg!”.

“Oh ya?”, tanya saya dengan spontan dan kaget.

“Coba nanti di cek dulu”, jawabnya kemudian.

“Iya Mas, terima kasih”.

Saya langsung mengecek dompet dan ternyata SIM saya ketinggalan! Setelah diingat-ingat, ternyata terakhir kali saya ambil uang itu sebelum Lebaran. Ini berarti selama dua minggu belakangan saya kemana-mana tanpa SIM. Untungnya dua minggu ini saya tidak bertemu dengan pemeriksaan lalu lintas, juga tidak pernah terjadi masalah sewaktu berkendara. Alhamdulillah.

Keesokan paginya saya mendapat antrian pertama di loket custumer service yang langsung disapa, “Mau ambil SIM ya Mbak?”. Dengan muka malu dan bahagia saya menjawab “iya”. Terima kasih Bank Syariah! Sampai hari ini struk antriannya masih saya simpan.
Struk Antrian di Bank Syariah yang Paling Berkesan
(dokumentasi pribadi)
Dua tahun bersama bank syariah, puaskah? Cukup puas.

Ini pengalaman saya, bagaimana dengan cerita keren Anda? Share di sini ya! 

1 komentar:

 

Cerita NOLNIL Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates