Senin, 14 Desember 2020

Melawan Kekerasan Berbasis Gender

Foto Sewaktu Kecil


Sewaktu kecil saya memiliki perawakan yang cukup berbeda dengan teman sebaya saya. Satu yang paling menonjol tampak pada rambut kriting saya yang tumbuhnya tidak jatuh ke bawah, melainkan melebar ke samping, persis seperti pertumbuhan sayur brokoli. Sebuah penampilan yang di era 90-an terbilang berbeda dengan teman-teman sebaya.

Sebenarnya perbedaan ini tidak pernah menjadi persoalan yang berarti, hingga suatu pagi saya mulai mengalami bullying yang dilakukan oleh teman SD yang kebetulan satu SMP dengan saya. Karena saya masuk kelas kecil yang kebetulan berada di lantai dua, setiap hari saya harus melewati kelas kawan saya itu. Alhasil setiap kali papasan, ia dan teman-temannya selalu menyoraki saya dengan salah satu jingle mie instan ternama. Meski merasa terganggu, namun karena ia tidak melakukan kekerasan fisik, saya memilih untuk diam.

Tidak disangka, teman perempuan saya, sebut saja Nina (bukan nama sebenarnya) mengalami hal serupa. Parahnya, selain dibully secara psikis, waktu itu ia juga mengalami perundungan secara fisik. Saya ingat betul selain diolok-olok dengan sebutan cakwe, jilbab Nina juga sempat ditarik sampai lepas dari kepala. Kabar baiknya, Nina mengambil sikap yang bertolak belakang dengan sikap saya. Meski ditertawakan, ia memilih untuk melawan.

Meski waktu itu saya tidak berani membantu, namun saya salut sekali dengan sikap Nina. Sejak saat itu, saya berjanji dalam hati untuk melindungi diri sendiri dengan lebih baik lagi. Dan hal pertama yang saya lakukan adalah memilih outfit yang nyaman untuk dikenakan. Jika sewaktu-waktu ada yang berniat berbuat jahat, minimal pilihan berbusana saya memudahkan untuk melawan ataupun lari untuk meminta pertolongan.

Sayangnya pakaian yang nyaman dan sopan dikenakan sesuai adat ketimuran ternyata tidak menjamin seseorang terhindar dari kekerasan berbasis gender. Delapan belas tahun yang lalu, tepatnya saat saya hendak menjenguk saudara di kabupaten sebelah, saya mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama penumpang bus. Sialnya pelaku adalah suami dari seorang ibu yang barusan saya tolong.

Merasa kasihan dengan seorang ibu yang tengah menggendong bayi, saya reflek untuk memberikan tempat duduk saya pada beliau. Tak disangka, penumpang lain yang sepertinya suami ibu tersebut malah menggesek-nggesekkan kemaluannya di belakang saya. Awalnya saya mengira hal ini terjadi atas dasar ketidaksengajaan. Ternyata kelakuan bejat ini dilakukan berulang.

Tentu saja selain menghindar, saya juga memelototi pelaku. Saya tidak mau pura-pura tidak tahu meski dalam hati terbersit rasa takut. Setelah berhasil menghindar, ia berlagak seolah tidak terjadi apa-apa. Tak lama berselang ternyata ia dan ibu yang menggendong anak turun dari bis. Karena kemarahan saya sudah memuncak, dengan lantang saya maki pelaku hingga ibu (yang kemungkinan besar adalah istrinya) itu terlihat kaget.

Webinar Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud RI

Puluhan tahun berselang, ternyata kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah yang membayangi negeri ini. Rasa malu dan kondisi ekonomi korban, ditambah dengan rendahnya kesadaran hukum dan kuatnya budaya patriarki menjadi penyebab maraknya kekerasan berbasis gender. Guna memberi edukasi sekaligus meminimalisir tindakan kekerasan berbasis gender, pemerintah melalui Pusat Penguatan Karakter kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyelenggarakan Webinar dengan tema “Anti Kekerasan Berbasis Gender” dan “Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender”.

Saya sepakat dengan berbagai narasumber yang dihadirkan dalam webinar ini. Bahwa kekerasan berbasis gender harus kita lawan mulai dari sekarang. Dari jaga, lindungi dan edukasi diri sendiri, semoga dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang ada di sekeliling kita.

Salam hangat dari Jogja,

Retno


#CerdasBerkarakter #BlogBerkarakter #AksiNyataKita #LawanKekerasanBerbasisGender #BantuKorbanKekerasan

Kamis, 08 Oktober 2020

Review Film Boncengan: Edukasi Kejujuran dari Sekolah Dasar

 


Menonton Film Boncengan mau tak mau mengingatkan saya pada salah satu moment menggelikan semasa sekolah dasar (SD) yang ceritanya sebelas dua belas dengan Amin. Salah satu tokoh utama pada film berdurasi 16 menit garapan sutradara Senoaji Julius ini. Film Boncengan sendiri bercerita tentang lomba lari di sebuah sekolah dengan hadiah utama berupa sepeda. 

***

Sewaktu SD saya punya teman, sebut saja Delima (bukan nama sebenarnya). Di hari-hari biasa Delima jarang memperlihatkan tanda-tanda anak yang antusias saat mempelajari hal baru. Selain tidak aktif di kelas, nilai hariannya pun terbilang pas-pasan. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nilai tes hasil belajar (THB) yang acap kali masuk peringkat enam besar di tingkat sekolah.

Karena terjadi berulang kali, pola nilai Delima akhirnya dihafali tak hanya oleh bapak atau ibu guru, tapi juga oleh teman-teman di kelas. Hingga suatu hari terkuak berita bahwa ada kerabat dekat Delima yang berkantor di sebuah sekolah. Tak ayal, “katrolan” nilai THB Delima pun langsung dihubung-hubungkan dengan profesi kerabat kawan saya itu. Sampai-sampai ada celetukan perihal prediksi nilai Delima segala.

“Lihat saja, nilai bagusnya paling mentok sampai THB terakhir!”, begitu kira-kira prediksi yang berdar waktu itu.

Apesnya, prediksi ini benar-benar terjadi. Saat pengumuman hasil UAN, nilai Delima kembali pas-pasan seperti sedia kala. Kalau boleh ditarik benang merah, cerita kawan saya tersebut hampir mirip dengan kisah Amin. Salah satu peserta lomba lari dalam Film Boncengan yang hampir menyabet gelar juara, sesaat setelah gelar juara tersebut dicabut dari Yua. 

Nuansa komedi yang kocak namun sarat makna menjadi poin plus film garapan Senoaji ini. Satu diantaranya terletak pada scene sampainya aksi curang peserta lomba ke telinga kepala sekolah. Berbagai kecurangan tersebut tersampaikan dengan cara yang mudah dimengerti sekaligus mengundang gelak tawa peserta, juga pemirsa. Adegan nylonongnya Ndut ke podium untuk mencoba sepeda menjadi awal mula terkuaknya kecurangan demi kecurangan yang terjadi pada lomba "besar" ini.

Di sisi lain ada Amin. Kandidat juara pengganti Yua yang merupakan pemenang pertama lomba periode sebelumnya. Tak berbeda dengan Yua, guna memenangkan lomba, Amin juga melakukan serupa. Bedanya, paksaan mbonceng yang dialami Amin disodorkan oleh bapaknya sendiri. Sebuah penggambaran sederhana yang menggambarkan ambisi pribadi orang tua tanpa memperhatikan psikologi anak.

Padahal Amin sempat melakukan penolakan dengan sikap enggan mbonceng motor bapaknya. Sayangnya penolakan yang sempat dilontarkan Amin dalam salah satu scene seolah tidak sebanding dengan ambisi juara yang begitu diidamkan orang tua. Hal ini begitu terlihat tatkala bapak Amin yang bersorak begitu riang usai mendengar pengumuman juara akhirnya jatuh pada anak laki-lakinya. Apesnya moment bahagia ini seketika ambyar usai pelaporan yang dilakukan oleh teman-teman Amin. 

***

Bisa jadi puluhan tahun silam hal ini dialami oleh Delima. Kawan sekolah yang sempat saya tulis di awal cerita. Tidak menutup kemungkinan pula hal semacam ini masih sering terjadi di sekitar kita. Maklum saja, embel-embel juara masih menjadi pembuka obrolan sebagian orang tua. Padahal masa depan anak tidak hanya bergantung dari titel juara semata. Seiring perubahan jaman, berbagai keahlian mutlak diperlukan untuk meraih masa depan. Ini belum menyoal perihal karakter anak begitu mudah mencontoh perilaku orang tua. 

Kuatnya pesan moral yang disampaikan dengan jenaka pada Film Boncengan dapat menjadi alternatif edukasi dalam medium yang menyenangkan. Di tambah lagi tujuh bulan terakhir anak-anak sedang menjalani kegiatan belajar dari rumah saja. Peran keluarga tentu sangat menentukan keberhasilan pembangunan karakter  generasi penerus bangsa, utamanya perihal kejujuran yang kian hari harganya kian meroket saja [Retno].

Senin, 07 September 2020

Kebangkitan Energi Terbarukan dari Pelosok Indonesia

 


Di Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, sampah organik yang dihasilkan warga tidak dibuang begitu saja. Berkat sinergi dengan berbagai pihak, keduanya mampu diolah menjadi sumber energi terbarukan yang ujung manfaatnya dinikmati kembali oleh warga sekitar. Berbekal mesin methagreen, sampah organik non nasi dari kawasan ini berhasil diolah menjadi tiga produk sekaligus, yakni pupuk cair, pupuk padat dan biogas. Inovasi-inovasi semacam inilah yang membuat Langgongsari menjadi selangkah lebih dekat menuju desa mandiri energi.

***

 

Cerita NOLNIL Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates