Kamis, 08 Oktober 2020

Review Film Boncengan: Edukasi Kejujuran dari Sekolah Dasar

 


Menonton Film Boncengan mau tak mau mengingatkan saya pada salah satu moment menggelikan semasa sekolah dasar (SD) yang ceritanya sebelas dua belas dengan Amin. Salah satu tokoh utama pada film berdurasi 16 menit garapan sutradara Senoaji Julius ini. Film Boncengan sendiri bercerita tentang lomba lari di sebuah sekolah dengan hadiah utama berupa sepeda. 

***

Sewaktu SD saya punya teman, sebut saja Delima (bukan nama sebenarnya). Di hari-hari biasa Delima jarang memperlihatkan tanda-tanda anak yang antusias saat mempelajari hal baru. Selain tidak aktif di kelas, nilai hariannya pun terbilang pas-pasan. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nilai tes hasil belajar (THB) yang acap kali masuk peringkat enam besar di tingkat sekolah.

Karena terjadi berulang kali, pola nilai Delima akhirnya dihafali tak hanya oleh bapak atau ibu guru, tapi juga oleh teman-teman di kelas. Hingga suatu hari terkuak berita bahwa ada kerabat dekat Delima yang berkantor di sebuah sekolah. Tak ayal, “katrolan” nilai THB Delima pun langsung dihubung-hubungkan dengan profesi kerabat kawan saya itu. Sampai-sampai ada celetukan perihal prediksi nilai Delima segala.

“Lihat saja, nilai bagusnya paling mentok sampai THB terakhir!”, begitu kira-kira prediksi yang berdar waktu itu.

Apesnya, prediksi ini benar-benar terjadi. Saat pengumuman hasil UAN, nilai Delima kembali pas-pasan seperti sedia kala. Kalau boleh ditarik benang merah, cerita kawan saya tersebut hampir mirip dengan kisah Amin. Salah satu peserta lomba lari dalam Film Boncengan yang hampir menyabet gelar juara, sesaat setelah gelar juara tersebut dicabut dari Yua. 

Nuansa komedi yang kocak namun sarat makna menjadi poin plus film garapan Senoaji ini. Satu diantaranya terletak pada scene sampainya aksi curang peserta lomba ke telinga kepala sekolah. Berbagai kecurangan tersebut tersampaikan dengan cara yang mudah dimengerti sekaligus mengundang gelak tawa peserta, juga pemirsa. Adegan nylonongnya Ndut ke podium untuk mencoba sepeda menjadi awal mula terkuaknya kecurangan demi kecurangan yang terjadi pada lomba "besar" ini.

Di sisi lain ada Amin. Kandidat juara pengganti Yua yang merupakan pemenang pertama lomba periode sebelumnya. Tak berbeda dengan Yua, guna memenangkan lomba, Amin juga melakukan serupa. Bedanya, paksaan mbonceng yang dialami Amin disodorkan oleh bapaknya sendiri. Sebuah penggambaran sederhana yang menggambarkan ambisi pribadi orang tua tanpa memperhatikan psikologi anak.

Padahal Amin sempat melakukan penolakan dengan sikap enggan mbonceng motor bapaknya. Sayangnya penolakan yang sempat dilontarkan Amin dalam salah satu scene seolah tidak sebanding dengan ambisi juara yang begitu diidamkan orang tua. Hal ini begitu terlihat tatkala bapak Amin yang bersorak begitu riang usai mendengar pengumuman juara akhirnya jatuh pada anak laki-lakinya. Apesnya moment bahagia ini seketika ambyar usai pelaporan yang dilakukan oleh teman-teman Amin. 

***

Bisa jadi puluhan tahun silam hal ini dialami oleh Delima. Kawan sekolah yang sempat saya tulis di awal cerita. Tidak menutup kemungkinan pula hal semacam ini masih sering terjadi di sekitar kita. Maklum saja, embel-embel juara masih menjadi pembuka obrolan sebagian orang tua. Padahal masa depan anak tidak hanya bergantung dari titel juara semata. Seiring perubahan jaman, berbagai keahlian mutlak diperlukan untuk meraih masa depan. Ini belum menyoal perihal karakter anak begitu mudah mencontoh perilaku orang tua. 

Kuatnya pesan moral yang disampaikan dengan jenaka pada Film Boncengan dapat menjadi alternatif edukasi dalam medium yang menyenangkan. Di tambah lagi tujuh bulan terakhir anak-anak sedang menjalani kegiatan belajar dari rumah saja. Peran keluarga tentu sangat menentukan keberhasilan pembangunan karakter  generasi penerus bangsa, utamanya perihal kejujuran yang kian hari harganya kian meroket saja [Retno].

 

Cerita NOLNIL Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates