Senin, 28 Agustus 2017

Rumah Tumbuh Tempat Ngangsu Kawruh Itu Bernama Jogja

Tugu Jogja


“Perbedaan itu tidak harus dikompromikan, tetapi perlu pengertian sehingga terwujud toleransi”, Sri Sultan Hamengku Buwono X (dilansir dari Republika, 2016) (1).

Sebagai kota multikultural, nuansa Jogja terasa begitu istimewa. Tidak hanya pada “raga” yang menyajikan aneka rupa tema wisata lengkap dengan segala “pemanisnya”, namun juga pada “jiwa-jiwa” yang menyediakan arena yang sebegitu nyamannya pada penghormatan atas perbedaan agama, suku maupun budaya.


Meski mayoritas warga Jogja merupakan muslim, namun kota budaya ini dikenal pula dengan sebutan kota seribu candi. Tentu hal ini tidak lepas dari banyaknya bangunan budaya berbentuk candi yang tersebar di berbagai sudut Jogja, seperti Candi Prambanan, Candi Boko, Candi Ijo, Candi Pawon, Candi Plaosan, Candi Sambisari dan masih banyak lagi. Uniknya, candi-candi tersebut dirawat begitu baiknya, tidak hanya oleh pemerintah ataupun mereka yang melakukan kegiatan peribadatan di sana, namun diperhatikan pula oleh komunitas yang peduli akan keberlangsungan aneka rupa bangunan bersejarah di Jogja. Saya pernah mendapati ada beberapa kawan yang sengaja mendaftar menjadi relawan yang bertugas membantu membersihkan area candi dari balutan abu. Aktivitas semacam ini tentu tidak akan terjadi jika tak ada sikap peduli, pun toleransi yang terbilang cukup tinggi. 

Berbicara tentang toleransi, membuat saya mengingat-ingat akan ragam memori yang terukir di kota cantik ini. Pernah suatu ketika, kawan penelitian saya bertanya, “Tahu nggak Ret, kenapa mas-mas yang membantu mengatur jalan di samping masjid tadi bisa datang tepat waktu, baik sebelum isya maupun setelah sholat taraweh?”. Waktu itu saya hanya menggelengkan kepala, tanda tidak tahu. 

Tak disangka, saya mendapat jawaban yang begitu mengendap di kepala, atau mungkin takkan terlupa, “Dia non muslim Ret, namun tak ragu meluangkan waktu untuk membantu mengatur jalan saat Bulan Ramadhan”. Tak heran jadinya jika Oktober tahun lalu Jogja didaulat sebagai tuan rumah dalam dialog lintas agama dan budaya oleh Negara-negara yang tegabung dalam MIKTA, meliputi Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia. Alasannya mudah saja, kota cantik ini begitu menjunjung tinggi toleransi.

Rumah yang Bertumbuh

Jika dianalogikan sebagai sebuah rumah, Jogja bukanlah tempat tinggal yang sedari awal menawarkan fasilitas serba ada. Meski demikian, Jogja ibarat rumah yang tumbuh seiring keperluan akan pemenuhan kebutuhan para penghuninya. Jogja berhati nyaman bukan sebuah slogan belaka, namun nyata adanya. Hal ini tampak dari berbagai cara yang ditempuh aktor setempat, mulai dari pemerintah hingga pelaku kreatif yang tersebar dalam berbagai kanal, seperti komunitas, pekerja seni ataupun pelaku ekonomi yang begitu kreatif membangun Jogja menjadi begitu istimewa. 

Dalam membuat Jogja berhati nyaman, pemerintah berupaya keras memperbaiki berbagai fasilitas publik, mulai dari membenahi kawasan Malioboro dengan membuat jalur pedestrian yang lebih luas hingga menetapkan aturan parkir yang jelas bagi kendaraan bermotor. Tak ayal pusat wisata di tengah kota yang selalu berbenah diri ini tetap menjelma menjadi salah satu destinasi wisata idola semua-semua.

Dalam segi infrastruktur, dibuatnya Jalur Jalan Lintas Selatan cukup memudahkan wisatawan yang ingin menikmati liburan di berbagai pantai di kawasan Gunungkidul melalui jalur Bantul. Berkat jalur baru ini, deretan pantai berpasir putih khas Gunungkidul seperti Pantai Krakal, Kukup, Sadeng, Sundak, Nyadranan hingga Pantai Indrayanti dapat diakses melalui Jalan Parangtritis. 

Salah Satu Pantai di Gunungkidul
Di sisi lain, Jogja juga meletakkan penghormatan yang begitu tinggi pada hak-hak minoritas. Hal ini terpancar dari beberapa fasilitas publik yang dibuat pemerintah seperti adanya jalur kuning yang mengelilingi Alun-Alun Selatan Jogja ataupun terdapatnya area khusus di Bus Trans Jogja yang dapat dipergunakan untuk meletakkan kursi roda. 

Penghormatan pada kaum minoritas ini juga didukung oleh pengelola tempat wisata, salah satunya adalah kebun binatang kebanggaan warga Jogja, Gembira Loka Zoo (GL Zoo). Di sini ada jalan yang dibuat menurun dengan permukaan yang begitu halus sehingga dapat dilewati oleh pengguna kursi roda. Dengan berbagai fasilitas yang ada, tidak heran rasanya jika banyak yang berlomba agar segera kembali ke kota cantik ini untuk sekedar mengenang memori, mengadu mimpi atau bahkan menghabiskan masa tua yang begitu dinanti-nanti.

Dengan berbagai fasilitas yang kini tersedia di Jogja, jangan heran kiranya jika Anda mendapati banyak slogan yang begitu njogjani, pun ngangeni, seperti:

Belum lengkap rasanya liburan ke Jogja kalau belum mengambil foto di kawasan Tugu.
Belum ke Jogja kalau belum menjejakkan kaki di Malioboro.
Belum disebut ke Jogja kalau belum nyicip gudeg, sate klatak, wedang uwuh, kopi jos, bakpia beserta sederet kawan-kawannya.
Belum lengkap rasanya ke Jogja kalau belum nyobain masangin ataupun jemparingan.
Dan masih banyak lagi.

Buah karya para pelaku ekonomi kreatif ini tentu patut dipuji. Selain membuka begitu banyak lapangan kerja, hal ini tentu mampu menggerakkan roda perekonomian Jogja menjadi kian istimewa. Berbagai slogan di atas tak pelak menunjukkan betapa kreatif dan eloknya warga Jogja dalam menjamu tamu-tamu yang seolah tak pernah jemu meski dimakan waktu.


Tempat Ngangsu Kawruh yang Tak Pernah Bikin Rikuh
Selain dikenal sebagai kota wisata, Jogja juga sebagai tempat ngangsu kawruh yang tak pernah bikin rikuh. Dalam Bahasa Jawa, ngangsu kawruh berarti belajar. Selain menyediakan puluhan sekolah dan universitas kenamaan, Anda dapat belajar berbagai hal di tempat-tempat yang jarang terduga.

Bisa belajar ramah tamah karena disapa duluan oleh warga lokal, bisa belajar Bahasa Jawa tatkala membeli pecel senggol di depan Pasar Beringharjo ataupun saat menawar harga dengan menyebut kalimat tanya semacam, “Segandok piro?”, pun dapat berlatih kesabaran saat kemecer berwisata kuliner di berbagai warung kenamaan yang menjual aneka kudapan yang dibuat porsi per porsi. Bukankah suasana yang demikian nyaman dan indah ini merupakan representasi dari negeri kita sendiri? Karena itulah, menjadi Jogja, menjadi Indonesia.


Salam hangat dari Jogja,
Retno


Daftar pustaka:
1. Yogyakarta Contoh Multikultural. Republika, 2016. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/18/of94u6396-yogyakarta-contoh-multikultural

0 komentar:

Posting Komentar

 

Cerita NOLNIL Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates