Belanja dengan Rupiah (Dokumentasi Pribadi) |
“Mbak, mau bayar hutang”, ucap Andri, rekan kerja saya di
suatu siang.
“Maaf Mas, saya tidak menerima uang yang sudah lusuh”, jawab
Mbak Diaz sesaat kemudian.
Mendengar jawaban ini, sontak saya dan beberapa kawan lainnya
langsung mengalihkan pandangan pada keduanya.
“Dih, gaya benar
yang habis liburan dari luar negeri”, jawab Andri dengan nada cukup sinis, yang
mungkin berbalut sedikit kejengkelan lantaran uangnya ditolak. Beberapa kawan
lain pun ikutan mengejek Mbak Diaz karena menolak lembaran rupiah yang
disodorkan Andri siang itu.
“Bedanya apa coba? Bukannya nominalnya sama saja?”, tambah
Andri yang masih bingung dengan penolakan yang
baru saja ia terima. Sebuah pertanyaan yang diam-diam juga saya ucapkan
dalam hati.
“Kemarin pas aku liburan di luar, uangku kelipet dikit aja
ditolak Mas. Sekarang aku mau menerapkan hal serupa pada rupiah”, jawabnya
sembari tersenyum.
Betapa kagetnya saya mendapati jawaban demikian. Kaget yang
bercampur kekaguman akan cara sederhana rekan kerja saya dalam mempraktekkan gerakan
cinta rupiah dalam kehidupan sehari-hari. Kalau fisik rupiah di negeri sendiri saja
tidak dihargai, bagaimana orang luar tertarik menghargai rupiah yang katanya kita
bangga-banggakan ini bukan? Kekagetan saya semakin bertambah tatkala membaca
paparan berita yang dimuat di laman CNN
Indonesia pada Selasa, 14 Maret 2017 lalu yang mengungkapkan bahwa setiap
tahunnya Bank Indonesia memusnahkan sekitar 200 triliun uang kertas yang lusuh
dan tak layak. Suhaedi, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Uang Jumlah
menjelaskan bahwa persentase uang yang dimusnahkan tersebut tersebut mencapai 35
hingga 40% dari nilai total uang yang diedarkan bank sentral yang menyentuh
angka 560 sampai 600 triliun rupiah.
Dan seperti hukum keseimbangan pada umumnya, penarikan dan pemusnahan
uang yang tidak layak tersebut harus diimbangi dengan pencetakan uang yang
baru. Selain membutuhkan biaya operasional dalam proses penarikan dan pemusnahan
uang lusuh dan tidak layak, Suhaedi juga menjelaskan bahwasanya Perusahaan Umum
Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) juga memiliki keterbatasan
dalam mencetak uang. Dalam hal ini, kemampuan cetak uang di Perum Peruri sekitar 9 hingga 10 triliun setiap tahunnya.
"Jadi kalau kita suka melipat, mencoret atau bahkan merusak lembaran rupiah dengan sengaja itu termasuk dalam penghamburan anggaran negara dong"? Catet ya, Ret!
"Jadi kalau kita suka melipat, mencoret atau bahkan merusak lembaran rupiah dengan sengaja itu termasuk dalam penghamburan anggaran negara dong"? Catet ya, Ret!
Uang Nominal Kecil Paling
Banyak Rusak
Ternyata sebagian besar uang yang dimusnahkan akibat rusak
dan tidak layak tersebut merupakan uang dengan nominal rupiah kecil atau dibawah nominal
Rp 10.000. Pecahan rupiah yang penjagaan fisiknya seringkali diabaikan begitu
saja. Padahal berapapun nilainya, sebagai mata uang negara, rupiah tetap
menjadi simbol martabat dan kedaulatan bangsa. Apalagi pada tahun 2016 yang
lalu Bank Indonesia secara resmi menerbitkan dan mengedarkan uang NKRI Emisi
2016 yang desainnya mewakili seluruh wilayah Indonesia, dimana secara filosofi
penerbitan rupiah desain baru ini merupakan simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Selain memuat lambang negara, yakni Pancasila dan pahlawan
nasional di bagian depan, lembaran mata uang NKRI Emisi tahun 2016 juga memuat ilustrasi
keindahan alam hingga tarian yang menjadi salah satu kekuatan keanekaragaman
budaya Indonesia. Dalam pecahan uang 100 ribu rupiah misalnya. Di sisi depan
mata uang terdapat Pancasila sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Proklamator Republik Indonesia, Dr. (H.C) Ir. Sukarno dan Dr. (H.C) Drs.
Mohammad Hatta, sedangkan di sisi belakang mata
uang terdapat ilustrasi Raja Ampat dan Tari Topeng Betawi. Standar desain yang
sama pun diberlakukan pada semua mata uang kertas NKRI Emisi 2016, tidak
terkecuali dengan pecahan uang kecil. Kalau sudah tahu informasi ini tapi masih abai terhadap penjagaan fisik lembaran rupiah kita, apalagi melakukan diskriminasi penjagaan fisik atas nominal rupiah yang kecil, selain termasuk pemborosan anggaran negara, bisa dikatakan tidak menghargai jasa pahlawan juga potensi wisata dan budaya Indonesia dong? Catet lagi, Ret!
Cara Mudah Mencintai
Rupiah
Ternyata cara mencintai rupiah yang dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari itu mudah lho! Salah satu diantaranya dapat
dilakukan dengan merawat fisik rupiah yang kita miliki. Dimulai dari diri
sendiri, dari dompet sendiri terlebih dahulu. Kalau sudah bisa rutin merawat rupiah
milik sendiri, kebiasaan baik ini semoga dapat menular ke lingkungan sekitar kita. Tenang saja, merawat fisik
rupiah itu mudah kok karena hanya perlu 5J
saja yakni jangan dilipat, jangan
dicoret, jangan diplester, jangan diremas dan jangan dibasahi.
Menghindari Lipatan dengan Memilih Dompet Panjang (dokumentasi Pribadi) |
Terkait hal ini, saya ada sedikit tips yang mungkin dapat
dicontoh agar Gerakan 5J tadi dapat
dilakukan dengan begitu menyenangkan. Untuk mencegah terjadinya lipatan pada
uang cash yang saya miliki, saya
memilih menggunakan dompet panjang yang memungkinkan untuk menyimpan uang
secara leluasa. Jadi, saat dimasukkan dalam dompet, saya yakin tidak akan ada uang kertas yang rusak karena terlipat. Jika ada ponakan yang biasanya diberi uang
untuk ditabung di sekolah, tidak lupa saya beri sedikit edukasi merawat rupiah dengan cara yang begitu sederhana:
“Biar tidak rusak, gimana kalau uang tabungannya dititip Mamah saja? Sayang kalau disakuin nanti jadinya kelipet-lipet?". Begitu kira-kira edukasi yang selama ini saya berikan di circle terdekat saya.
“Biar tidak rusak, gimana kalau uang tabungannya dititip Mamah saja? Sayang kalau disakuin nanti jadinya kelipet-lipet?". Begitu kira-kira edukasi yang selama ini saya berikan di circle terdekat saya.
Saya juga tidak pernah mencorat-coret meremas, memplester ataupun menstreples (mengklip) uang kertas di dalam dompet. Harap maklum, beberapa tahun terakhir saya membiasakan diri untuk membawa uang tunai seperlunya saja. Uang yang hanya saya pergunakan saat berbelanja di warung atau pasar tradisional.
Saya memang hobi berbelanja di pasar. Selain untuk nglarisi pedagang-pedagang kecil yang berjualan di pasar, interaksi jual beli di pasar tradisional cukup menarik perhatian saya. Sebagai freelance content creator, interaksi yang terjadi di berbagai pasar yang sempat saya kunjungi acapkali memantik ide kreatif yang dapat dijadikan bahan reportase yang menarik.
Rupiah Sebagai Mata Uang Dalam Prosesi Jual Beli di Pasar Terapung Lok Baintan (Dokumentasi Pribadi) |
Saat menikmati prosesi jual beli di Pasar Terapung Lok
Baintan misalnya. Selain menawarkan sensasi berbelanja yang cukup berbeda
dengan kebanyakan pasar di Indonesia, pasar unik ini juga menawarkan pesona
peradaban sungai khas Indonesia yang masih asli. Senang rasanya bisa membelanjakan rupiah di
salah satu pasar terapung Indonesia yang mendunia ini. Apalagi melihat
senyum para acil saat meneruma lembaran rupiah yang wujud fisiknya terbilang
masih baik. Dalam Bahasa Banjar, “acil”
berarti bibi. Karena sebagian besar penjual di pasar terapung ini merupakan wanita, jadilah sebutan acil ini kerap diidentikkan dengan bibi-bibi yang
berjualan di atas jukung, sebutan untuk perahu tradisional khas Kalimantan.
Sebagai pasar lokal yang mendunia, tidak hanya wisatawan lokal saja yang tertarik berbelanja di Lok Baintan. Dua kali ke sana, saya selalu bertemu wisatawan asing yang sengaja datang ke Indonesia untuk menikmati sensasi belanja di atas klotok. Tak jarang mereka menyewa klotok secara eksklusif saat berbelanja di Lok Baintan. Klotok sendiri merupakan sebutan perahu bermotor yang banyak digunakan di sekitar Pulau Kalimantan. Bunyi mesin yang mengeluarkan suara "tok tok tok" inilah yang membuat perahu mesin di sana dinamakan klotok.
Sebagai pasar lokal yang mendunia, tidak hanya wisatawan lokal saja yang tertarik berbelanja di Lok Baintan. Dua kali ke sana, saya selalu bertemu wisatawan asing yang sengaja datang ke Indonesia untuk menikmati sensasi belanja di atas klotok. Tak jarang mereka menyewa klotok secara eksklusif saat berbelanja di Lok Baintan. Klotok sendiri merupakan sebutan perahu bermotor yang banyak digunakan di sekitar Pulau Kalimantan. Bunyi mesin yang mengeluarkan suara "tok tok tok" inilah yang membuat perahu mesin di sana dinamakan klotok.
Rupiah Sebagai Mata Uang Dalam Prosesi Jual Beli di Pasar Terapung Lok Baintan (Dokumentasi Pribadi) |
Sesampainya di sana, turis-turis asing ini tidak hanya
menikmati riuh indahnya Lok Baintan lho!
Tapi mereka juga membeli berbagai makanan, buah ataupun souvenir yang dijual
para acil. Kalau berkesempatan berkunjung ke sini, saya merekomendasikan
beberapa kuliner enak khas Banjar seperti Soto Banjar, aneka wadai (kue), telur asin yang
legit serta berbagai buah-buahan yang konon dipetik sendiri dari kebun acil seperti jeruk, pisang, kuini hingga buah kasturi.
Menariknya, berbagai transaksi jual beli di sini dilakukan menggunakan mata uang rupiah, bukan mata uang lainnya. Senang rasanya mendapati implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 yang mengatur kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi perekonomian yang dilakukan di Indonesia itu ternyata berlaku pula di pasar kenamaan ini. Kalau wisatawan asing saja tunduk pada peraturan di Indonesia, sudah seharusnya bukan kalau kita juga wajib menaatinya? Ngomong-ngomong pada ikutan senang nggak sih melihat acil menerima pecahan rupiah dengan kondisi fisik yang masih baik seperti yang terekam pada foto di atas? Kalau aku sih yes^^
Kalau kita berkesempatan mengunjungi berbagai tempat di pelosok nusantara seperti ini bisa dimanfaatkan juga untuk mengedukasi pelaku kreatif lokal agar tidak tertipu dengan peredaran uang palsu. Bagaimanapun juga, pedagang-pedagang di ribuan pasar di Indonesia ini merupakan salah satu pihak yang beresiko tinggi tertipu rupiah palsu. Tidak ada yang salah rasanya jika kita turut mengkampanyekan wujud asli rupiah yang kita cintai ini. Apalagi caranya terbilang sangat mudah, cukup dengan 3D saja, yakni dilihat, diraba dan diterawang.
Menariknya, berbagai transaksi jual beli di sini dilakukan menggunakan mata uang rupiah, bukan mata uang lainnya. Senang rasanya mendapati implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 yang mengatur kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi perekonomian yang dilakukan di Indonesia itu ternyata berlaku pula di pasar kenamaan ini. Kalau wisatawan asing saja tunduk pada peraturan di Indonesia, sudah seharusnya bukan kalau kita juga wajib menaatinya? Ngomong-ngomong pada ikutan senang nggak sih melihat acil menerima pecahan rupiah dengan kondisi fisik yang masih baik seperti yang terekam pada foto di atas? Kalau aku sih yes^^
Kalau kita berkesempatan mengunjungi berbagai tempat di pelosok nusantara seperti ini bisa dimanfaatkan juga untuk mengedukasi pelaku kreatif lokal agar tidak tertipu dengan peredaran uang palsu. Bagaimanapun juga, pedagang-pedagang di ribuan pasar di Indonesia ini merupakan salah satu pihak yang beresiko tinggi tertipu rupiah palsu. Tidak ada yang salah rasanya jika kita turut mengkampanyekan wujud asli rupiah yang kita cintai ini. Apalagi caranya terbilang sangat mudah, cukup dengan 3D saja, yakni dilihat, diraba dan diterawang.
Karena dibuat dengan tingkat keamanan yang mumpuni, salah
satu cara menentukan keaslian rupiah kita dapat dilihat dengan cara dilihat, apakah uang terlihat terang dan jelas atau tidak. Selain itu lihat pula berbagai detail asli
rupiah seperti benang penganyam juga perisai Logo Bank Indonesia yang dapat
berubah warna jika dilihat dari sudut berbeda. Untuk memudahkan mereka yang
berkebutuhan khusus, lembaran rupiah kebanggaan kita ini juga dilengkapi dengan blind code bertekstur kasar yang terletak di sisi kiri bagian depan uang lembar uang rupiah.
Tiga D yang terakhir adalah diterawang, dimana saat diterawang nanti lembaran mata uang rupiah kita akan terlihat watermark gambar pahlawan, juga fitur pengaman yang dilakukan dengan metode rectoverso. Metode pengaman yang sempat booming di awal kemunculannya ini dibuat dengan teknik memecah gambar untuk diletakkan dengan posisi yang saling membelakangi namun dapat mengisi satu sama lain. Gambar yang dicetak di bagian depan dan belakang lembaran rupiah kita ini nantinya akan terlihat menyatu jika diterawang. Kalau proses pembuatannya saja sudah melalui tahapan dan tingkat pengamanan yang sedemikian baiknya, tanpa perlu diminta pun rasa-rasanya kewajiban merawat rupiah mutlak dilakukan.
Kalau nanti bisa jalan-jalan sekaligus mengedukasi pelaku kreatif yang ditemui disepanjang perjalanan kan seru ya? Ibarat peribahasa sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui. Selain dapat bekal ilmu di tempat yang baru, berbagi ilmu pada mereka yang mungkin belum tahu itu terlampau menyenangkan lho! Tidak percaya? Segera coba saja gih!
Tiga D yang terakhir adalah diterawang, dimana saat diterawang nanti lembaran mata uang rupiah kita akan terlihat watermark gambar pahlawan, juga fitur pengaman yang dilakukan dengan metode rectoverso. Metode pengaman yang sempat booming di awal kemunculannya ini dibuat dengan teknik memecah gambar untuk diletakkan dengan posisi yang saling membelakangi namun dapat mengisi satu sama lain. Gambar yang dicetak di bagian depan dan belakang lembaran rupiah kita ini nantinya akan terlihat menyatu jika diterawang. Kalau proses pembuatannya saja sudah melalui tahapan dan tingkat pengamanan yang sedemikian baiknya, tanpa perlu diminta pun rasa-rasanya kewajiban merawat rupiah mutlak dilakukan.
Kalau nanti bisa jalan-jalan sekaligus mengedukasi pelaku kreatif yang ditemui disepanjang perjalanan kan seru ya? Ibarat peribahasa sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui. Selain dapat bekal ilmu di tempat yang baru, berbagi ilmu pada mereka yang mungkin belum tahu itu terlampau menyenangkan lho! Tidak percaya? Segera coba saja gih!
Membatasi Kepemilikan Uang Cash
Membatasi kepemilikan uang cash di
dompet bukan tanpa alasan tidak hanya dilakukan untuk sekedar gaya-gayaan
semata. Hal ini saya lakukan untuk mendukung Gerakan
Nasional Non Tunai (GNNT) yang resmi digalakkan Bank
Indonesia sejak 14 Agustus tahun 2014 lalu. Gerakan mudah yang bermuara
pula pada kecintaan saya pada rupiah. GNNT pun menawarkan berbagai kemudahan
dalam berbelanja berbagai keperluan harian saya mulai dari icip-icip produk kuliner,
UMKM maupun belanja kain tradisional khas nusantara melalui
online shop hingga membayar jasa transportasi yang digunakan sehari-hari. Selain
itu dengan cash terbatas, diharapkan
dapat memperkecil persentase kerusakan pada uang kertas, juga meminimalisir
uang negara yang digunakan untuk operasional penarikan dan pemusnahan uang rusak
dan tidak layak.
Aneka Tenun yang Dipesan Secara Via Online Shop (Dokumentasi Pribadi) |
Menariknya lagi, Gerakan
Nasional Non Tunai (GNNT) ini tidak hanya memudahkan kita dalam
berbelanja saja, namun juga membuka peluang yang sama besarnya untuk menjadi
seorang wirsusahawan. Hal ini tidak lain karena pembayaran online telah menjadi
transaksi yang dilegalkan di negara kita. Jadi tak perlu panas-panasan lagi saat
berjualan, tinggal promosi melalui dunia maya, deal dengan konsumen, transfer, beres! Ini salah satunya. Buku Foto
tentang SDN Basirih 10 karya kawan saya Vebio Kusti Alamsyah. Selain dijual
saat pameran, buku foto yang naskahnya saya tulis ini yang dijual secara online. Jadi usai pameran di Bandung pada Bulan Desember 2017 lalu, orang
masih bisa memesan buku secara online. Ada lho pembeli dari Banjarmasin
yang tertarik untuk mengkoleksi empat eksemplar sekaligus! Tentu saja proses
pembayarannya tidak perlu tatap muka secara langsung. Tinggal transfer, beres!
Buku yang dikirim dari Jakarta pun telah sampai ke Banjarmasin tanpa kekurangan
suatu apapun. Terima kasih GNNT!
Buku Foto Merah Putih Coklat (Dokumentasi Vebrio Kusti A.) |
Karena sudah terbiasa membawa sedikit uang cash, kalau
suatu hari saya dapat rejeki lebih yang dibayarkan secara tunai, sebagian
diantaranya saya tabung di Bank. Oiya, ngomong-ngomong tabungan saya ini dalam
bentuk IDR ya. Saya belanja dengan rupiah, tabungan di bank pun disimpan dalam
bentuk rupiah, bukan mata uang asing.
Menabung Rupiah di Bank (Dokumentasi Pribadi) |
Selain bertujuan mendorong berdaulatnya rupiah di negeri sendiri,
penghargaan kita akan rupiah diharapkan mampu mensejajarkan mata uang Indonesia
dengan berbagai mata uang utama dunia. Karena itulah jika kita mampu menjaga
fisik rupiah mulai dari diri sendiri, dari uang yang ada di dompet kita
masing-masing, apalagi kalau kita dapat menularkan vibe positif ini pada orang di sekitar kita, bisa dibayangkan
berapa nominal penghematan anggaran negara dari hal-hal kecil macam ini bukan? Mari kita jaga agar rupiah senantiasa berdaulat di seantero Indonesia.
Salam hangat dari
Jogja,
-Retno-
*Artikel ini diikutkan dalam Blog
Competition dengan Tema Cinta Rupiah yang diadakan oleh
Net Mediatama Televisi (NET Media) dan Bank Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar