Jogja merupakan salah
satu kota di Indonesia yang dikenal luas akan budaya dan sopan-santun warganya.
Berada di Jogja serasa ada surga dunia, baik pada bersahajanya suasana kota, terjangkaunya beragam kebutuhan dasar manusia ataupun pada
aneka "manisnya" budaya. Salah satu yang masih lestari hingga kini
adalah budaya rewang atau tolong
menolong yang begitu tinggi. yang tidak
lekang dimakan jaman. Penasaran? Kok bisa? Yuk kenalan lebih jauh lagi!
Pernikahan Gaya Jawa (Koleksi Pribadi, 2015) |
Rewang diambil dari bahasa Jawa yang artinya membantu. Rewang di sini identik dalam berbagai kegiata. Salah satunya adalah kegiatan persiapan pernikahan. Saat terdengar kabar seseorang akan menikah, maka secara otomatis warga desa akan datang membantu, bahkan tanpa diminta sekalipun. Umumnya beberapa hari sebelum hari pernikahan tiba, para tetangga akan datang sejak pagi hingga malam atau bahkan dini hari. Semua pekerjaan mulai dari sie konsumsi alias catering, master of ceremony alias mc hingga dekorasi ruangan akan dikerjakan oleh para tetangga.
Di sini setiap orang
memiliki peran masing-masing. Umumnya ibu-ibu akan berurusan dengan dapur, para
bapak akan mendekorasi ruangan sesuai permintaan yang menggelar hajat dan pemuda-pemudi
akan sibuk menghidangkan jamuan makan dalam rangkaian acara pernikahan. Satu yang perlu diketahui, acara
pernikahan tidak hanya saat resepsi saja lho
ya. Acara ini umumnya akan didahului dengan kenduri, lamaran baru nantinya
berakhir di resepsi pernikahan.
Di saat-saat sibuk
seperti ini, hampir sebagian besar warga akan tampil all out, mulai dari masa persiapan hingga pembubaran panitia. Dan
menurut penilaian pribadi saya, kekompakan dan kinerja warga tidak kalah canggih
dengan event organizer ataupun catering ternama yang memiliki jam terbang cukup tinggi. Pasalnya mulai dari urusan tata listrik,
cuci-mencuci peralatan makan bahkan hingga personel merebus air minum sudah begitu terperinci. Diam-diam profesional, begitulah istilah yang tepat untuk menyebut
kiprah warga desa saat ada hajatan pernikahan.
Lemper, Salah Satu Snack yang Kerap Disajikan Dalam Adat Pernikahan Jawa (Koleksi Pribadi, 2015) |
Saat ada warga desa
yang menikah, anggota keluarga rasa-rasanya harus siap menerima bahwa ibu atau ayah akan “menghilang” selama beberapa hari guna turut serta menyukseskan perhelatan akbar tetangga. Beragam aktivitas memasak mulai dari purchase order beragam bahan makanan di
pasar, meracik bumbu hingga mengolah dan menyajikan makanan akan dihitung dan dilakukan secara matang dan terperinci. Bahkan kalau sudah memasuki fase nglemper dan ter-ter, ibu-ibu akan rela tidur 3
hingga 4 jam saja. Pulang pukul 24.00 dini hari lalu kembali datang pukul 03.00
pagi merupakan hal yang sudah biasa. Wonder woman pokoknya!
Nglemper merupakan kegiatan membuat lemper, snack khas jawa yang dibentuk layaknya lontong mini dari ketan yang berisikan tumis daging sapi cincang. Sejatinya pembuatan lemper sendiri memiliki filosofi yang
cukup mendalam. Makanan yang dibuat dari beras ketan dan santan kelapa berisikan
daging sapi cincang ini melambangkan hubungan yang erat antar kedua keluarga
mempelai maupun dengan warga sekitar. Sedangkan kombinasi rasa antara gurih dan manis menurut
saya melambangkan harapan akan tercapainya kenikmatan dan kesuksesan hidup baru
kedua mempelai.
Sedangkan istilah ter-ter
merujuk pada hantaran makanan yang akan diantarkan di pagi hari, sekitar pukul
05.00 pagi. Ter-ter umumnya berisikan
nasi putih dengan beragam lauk pauk seperti ayam, masakan daging gelinding, mie,
telur, baceman, urap dan kerupuk yang dikemas dalam besek bambu. Entah apa filosofi
pastinya, menurut pengalaman saya, pelaksanaan ter-ter di pagi hari akan memudahkan ibu-ibu dalam menyiapan
sarapan untuk keluarga. All out
banget bukan? Meski demikian, ada pula yang mengirimkan ter-ter berupa ingkung saja. Ingkung merupakan olahan ayam utuh khas Jogja, ada yang dimasak dengan santan, namun ada pula yang direbus lalu digoreng seperti gambaran di atas.
Ingkung (Koleksi Pribadi, 2015) |
Warung Belut yang Menjelma Menjadi Ruang Rias Pengantin (Koleksi Pribadi, 2015) |
Bahkan tidak jarang
tetangga yang buka warung di dekat rumah si calon penganten rela untuk menutup
lapak dagangan mereka guna membantu kelancaran tetangga yang sedang menggelar
hajatan pernikahan. Hal seperti ini masih banyak terjadi di Jogja. Salah satunya saya temui di akhir tahun 2015 lalu, tepatnya saat pernikahan sahabat saya, Iya. Saat itu salah
satu warung belut ternama di Jogja rela tutup demi kelancaran pernikahan Iya. Si Iya ini meruupakan tetangga
yang bertempat tinggal tepat di depan warung belut ternama tadi. Di hari pernikahan Iya, warung tersebut menjelma menjadi ruang rias pengantin dan keluarga. Bisa dibayangkan omset harian yang harus direlakan demi menyukseskan acara si
tetangga bukan?
Menariknya, tidak hanya
dalam acara pernikahan saja warga saling membantu seperti ini. Saat ada orang
yang meninggal, peringatan upacara kematian hingga saat terjadi bencana
sekalipun tradisi rewang ini masih tetap
berlaku. Masih ingat betul rasanya kejadian sekitar 10 tahun yang lalu, tepatnya saat Jogja dirundung duka akibat gempa berkekuatan lebih dari 5 skala Richter itu. Di saat-saat sulit tersebutm pembangunan sebagian rumah warga yang roboh dilakukan dengan cara gotong royong alias rewang-rewangan, tanpa imbalan sepeserpun. Hanya saling
bergantian membantu antar sesama warga. Tujuannya pun sederhana, agar warga dapat segera beraktivitas kembali seperti sedia kala, Menarik untuk diteladani bukan?
Bagaimana dengan budaya di sekitar tempat tinggal Anda? Bisa di-share di sini lho ya!
0 komentar:
Posting Komentar