Struk Antrian di Bank Syariah yang Paling Berkesan (dokumentasi pribadi) |
Perkenalkan nama saya Retno. Perkenalan saya dengan
bank syariah cukup mengesankan karena bermula dari proses rekrutmen karyawan di
tahun 2012. Sayangnya proses perkenalan saya ini berakhir di tahap interview
direksi tingkat propinsi. Berbekal sedikit pengetahuan yang dipelajari selama
proses rekrutmen, akhirnya saya mantap bergabung pada sistem Keuangan Syariah yang
beroperasi di Indonesia. Tahun 2013 yang lalu, saya membuka rekening syariah
melalui teman kuliah yang bekerja di salah satu Bank Syariah, tepatnya di Bank Syariah yang
dulu saya lamar. Waktu itu kebetulan sedang ada promo bebas biaya administrasi
bulanan. Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi landasan utama membuka rekening
di bank ini. Titik terpentingnya tidak lain adalah kepercayaan saya
pribadi pada salah satu lembaga keuangan syariah ini.
“Mmmm, buktinya apa Nok?”. Kembali
ke point 1.
Kembali ke perkenalan saya dengan
lembaga Keuangan Syariah.
Ketika saya membuka rekening di tahun 2013 yang lalu, saya minta
dibuatkan rekening tanpa disertai kartu ATM dan ternyata bisa (2). Alasannya
sebenarnya sangat klasik. Saya masih tinggal di rumah orang tua dan saya belum
membutuhkannya. Dari sini saya berkesimpulan bahwa pembukaan rekening bisa
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Dengan raut muka sedikit keheranan teman
saya tersebut mengiyakan permintaan "aneh" saya.
“Baru kamu lho jeng
yang buka rekening tanpa ATM”.
Lalu saya ucapkan sebuah jawaban
pamungkas, “Mau hemat”. Waktu itu godaan awal bulan hanya bisa saya hindari
dengan cara ini.
Sayang, seolah bisa ditebak jauh-jauh hari, keadaan ini tidak berlangsung selamanya. Sekitar setahun kemudian akhirnya saya membuat kartu ATM. Menariknya, di Bank Syariah pilihan saya ini bikin kartu ATM dapat dilakukan di cabang mana saja. Tidak harus di cabang tempat kita membuka rekening (3). Kebijakan ini tentunya sangat memudahkan nasabah.
Meski di luar sana masih terjadi
perdebatan yang belum berkesudahan terkait perbedaan yang riil dan
signifikan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional, toh memiliki
rekening di salah satu Bank Syariah tetap menjadi salah satu pilihan
saya. Rekening di Bank Syariah saya daftarkan di bagian keuangan kantor saya.
Jadi rekening inilah yang ditransfer dari pihak kantor tempat saya bekerja. Dan
ternyata, saya adalah satu-satunya karyawan yang memakai rekening berbeda,
pakai Bank Syariah pula. Bagi saya ini sangat sesuatu. Toh kepotong 5 ribu
rupiah setiap bulannya bukan menjadi hal yang memberatkan.
“Sebentar, tapi kok tadi ada
kalimat salah satu ya Nok?”.
Oh itu. Ya karena saya juga masih
memiliki rekening lain di Bank Konvensional. Salah satu buku tabungan saya di
Bank Konvensional pun masih masuk kategori anak yang tidak ada fasilitas kartu
ATM-nya. Jadi kalau mau ambil uang harus ke bank-nya langsung. Kalau tidak
kepepet, tentu akan tidak terlalu bersemangat untuk mengambilnya. Ini trik saja
sih.
Oke, lanjut ya. “Terus masalah ribanya
gimana?”.
Dari awal saya membuka rekening, saya
tidak ada sedikitpun niatan untuk menikmati ataupun memanfaatkan bunga
bank-nya. Saya mempertahankan rekening di bank konvensional semata-mata karena
pelayanannya saya anggap sangat baik.
“Memangnya sebaik apa sih Nok?”.
Oke, karena menjadi nasabah baik di
salah satu bank syariah dan dua bank konvensional, saya mencatat beberapa
perbandingkan terkait pelayanan keduanya. Berikut beberapa poin penting versi
saya.
Sebenarnya saya bukan tipikal orang yang
suka berhura-hura. Terlebih lagi saya masih menumpang hidup di rumah orang tua
sehingga pengeluaran bulanan saya juga terbilang minimalis. Meski tidak sering,
namun tentunya saya juga pernah mengambil uang secara manual alias melalui
petugas teller. Biasanya jika mengambil dalam jumlah yang cukup banyak atau
jika mesin ATM-nya sedang offline.
Meski berpengeluaran minimalis, namun
mesin ATM adalah hal yang mutlak diperlukan bagi sebagian besar nasabah bank.
Apalagi jika sedang membutuhkan dana segar di waktu-waktu tertentu. Di luar jam
operasional bank misalnya. Atau ketika membutuhkan dana segar dalam jumlah yang
sedikit. Kan malas ya kalau ambil manual melalui petugas
teller dengan nominal yang tidak terlalu besar. Karena beragam alasan inilah
mesin ATM tidak lain merupakan representasi dari pelayanan bank itu sendiri,
baik itu berbasis syariah ataupun konvensional.
Kalau membandingkan hal ini, mungkin
Anda sudah dapat memperkirakan tema selanjutnya yang ingin saya bahas. Ya,
benar, tentang jumlah mesin ATM. Terkait hal ini, saya mau cerita tentang diri
sendiri saja ya. Jarak rumah orang tua ke tempat kerja kira-kira 25 km. Dari
jarak yang terbilang cukup jauh ini ternyata sepanjang rute perjalanan tersebut
saya hanya menemukan 3 mesin atm bank syariah tempat saya menabung. Satu saya
lewati di rute berangkat dan satu lagi saya lewati di rute pulang. Jumlah
ATM tersebut jauh berbeda dengan jumlah atm bank konvensional yang saya temui
(4). Tentu saja jika dibandingkan dengan jarak yang sama. Perbedaannya
pun cukup mencolok. Bisa dua atau tiga kali lipat lho!
“Tapi kan ATM Bersama banyak Nok?”.
Iya sih. Tapi di sini (Jogja), biaya
administrasinya masih bisa ditukar dengan 4 porsi serabi kocor favorit atau 10
buah kue putu ayu langganan saya. Kalau sebulan ambil tiga atau empat kali di
tempat yang sama kan sayang!
Oiya, meski terkesan sepele, namun bagi
saya pertanyaan petugas teller terkait pecahan rupiah yang akan diambil itu
adalah hal yang cukup penting. Kan tidak enak ya kalau sudah
disodori uang ratusan ribu tapi mau menukarnya dengan pecahan yang lebih
kecil, 50 ribuan misalnya. Bukan sok kritis sih, ternyata pertanyaan
uangnya mau diambil dalam pecahan 50 atau 100 ribuan hanya saya temui di bank
konvensional saja (5). (Note: Saya hanya memiliki satu rekening di
bank syariah, jadi saya kurang mengetahui operasional bank syariah yang
lainnya. Begitu pula bank konvensional pembandingnya. Saya hanya menggunakan 2
bank konvensional. Cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi dengan
membandingkan pelayanan sebuah bank syariah dengan sebuah bank konvensioal
tempat saya menabung.)
Meski demikian, bagi saya pribadi tetap
ada banyak alasan untuk mempertahankan rekening di bank syariah. Salah satunya
karena moment yang saya temui belum lama ini. Pagi itu
terdengar samar-samar sebuah pertanyaan dari petugas teller.
“Dua ratus ribu rupiah ya Pak?”, tanya
petugas teller.
Lalu sang bapak berpakaian sederhana dan
bersahaja itupun mengangguk. Dalam hati saya berkata, “Ternyata bank syariah
pilihan saya ini juga sudah dipercaya beragam kalangan masyarakat”. Proud!
Bukannya saya menjugde beliau kaum berada atau biasa. Bukan juga
karena jumlah uang atau sederhananya pakaian yang dikenakan. Tapi entah kenapa
pagi itu ada getaran yang terasa berbeda. Mungkin bagi orang lain jumlah 200
ribu rupiah terbilang sedikit atau bahkan sangat sedikit. Tapi bagi saya ada
nasabah yang mengambil empat lembar uang lima puluh ribuan langsung di bank
tergolong sangat sesuatu. Ada rasa haru yang
menyelimuti kalbu. Entah mengapa, melihat moment ini
membuat saya semakin yakin bahwa suatu hari nanti prinsip keuangan syariah bisa
sukses di Indonesia (6). Oiya, satu lagi,
ada baiknya jika Bank Syariah membuka kerjasama secara langsung dengan BPJS
Kesehatan (7). Tidak perlu
dijelaskan apa manfaatnya bukan?
Terakhir, ada hal mengejutkan yang saya
alami dengan Bank Syariah. Hal ini semakin mempererat jalinan silaturahmi kami.
“Dapat hadiah umrah Nok?”.
"Oh, yang ini belum. Semoga
suatu hari nanti dapat".
Siang itu saya mendapatkan telepon
dengan sapaan "Assalamualaikum" yang berlanjut dengan pertanyaan,
“Benar dengan ……..?”. Penelpon tersebut menanyakan identitas saya. Saya masih
terdiam. Maklum saja dulu ada yang mengaku dari sebuah lembaga keuangan yang menagih
tunggakan kartu kredit yang tidak pernah saya buat. Waktu itu penelpon gelap
tersebut menghubungi lebih dari satu kali. Saya pun dibuat jengkel karenanya.
Dari pengalaman inilah tema keamanan data nasabah saya ulas di poin
pertama.
Karena dulu si Mbak penelpon gelap juga
tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu, kali ini saya merasa sedikit
was-was. Lalu dengan segera saya bertanya, Maaf, dengan siapa saya berbicara?”.
Akhirnya laki-laki tersebut menjelaskan
bahwa ia adalah karyawan dari Bank Syariah tempat saya menabung. Lalu ia
pun bertanya terkait pelayanan Bank Syariah yang saya alami. Karena masih
bingung, saya pun bertanya, “Ada apa ya Mas?”.
“Ini SIM Ibu ketinggalan”, jawabnya
pelan.
“Deg!”.
“Oh ya?”, tanya saya dengan spontan dan kaget.
“Coba nanti di cek dulu”, jawabnya
kemudian.
“Iya Mas, terima kasih”.
Saya langsung mengecek dompet dan
ternyata SIM saya ketinggalan! Setelah diingat-ingat, ternyata
terakhir kali saya ambil uang itu sebelum Lebaran. Ini berarti selama dua minggu
belakangan saya kemana-mana tanpa SIM. Untungnya dua minggu ini saya tidak
bertemu dengan pemeriksaan lalu lintas, juga tidak pernah terjadi masalah
sewaktu berkendara. Alhamdulillah.
Keesokan paginya saya mendapat antrian
pertama di loket custumer service yang langsung disapa, “Mau ambil SIM ya
Mbak?”. Dengan muka malu dan bahagia saya menjawab “iya”.
Terima kasih Bank Syariah! Sampai hari ini struk antriannya masih saya simpan.
Dua tahun bersama bank syariah, puaskah? Cukup puas.
Ini pengalaman saya, bagaimana dengan cerita keren Anda? Share di sini ya!
Bagus sekali neng! Puas neng! MantaPPP!
BalasHapusKunjungi balek ya:
jasa pembuatan skripsi teknik informatika
site direktori dofollow