Foto Sewaktu Kecil |
Sewaktu kecil
saya memiliki perawakan yang cukup berbeda dengan teman sebaya saya. Satu yang
paling menonjol tampak pada rambut kriting saya yang tumbuhnya tidak jatuh ke
bawah, melainkan melebar ke samping, persis seperti pertumbuhan sayur brokoli. Sebuah
penampilan yang di era 90-an terbilang berbeda dengan teman-teman sebaya.
Sebenarnya perbedaan
ini tidak pernah menjadi persoalan yang berarti, hingga suatu pagi saya mulai
mengalami bullying yang dilakukan oleh teman SD yang kebetulan satu SMP dengan
saya. Karena saya masuk kelas kecil yang kebetulan berada di lantai dua, setiap
hari saya harus melewati kelas kawan saya itu. Alhasil setiap kali papasan, ia
dan teman-temannya selalu menyoraki saya dengan salah satu jingle mie instan
ternama. Meski merasa terganggu, namun karena ia tidak melakukan kekerasan
fisik, saya memilih untuk diam.
Tidak disangka,
teman perempuan saya, sebut saja Nina (bukan nama sebenarnya) mengalami hal
serupa. Parahnya, selain dibully secara psikis, waktu itu ia juga mengalami
perundungan secara fisik. Saya ingat betul selain diolok-olok dengan sebutan
cakwe, jilbab Nina juga sempat ditarik sampai lepas dari kepala. Kabar baiknya,
Nina mengambil sikap yang bertolak belakang dengan sikap saya. Meski
ditertawakan, ia memilih untuk melawan.
Meski waktu
itu saya tidak berani membantu, namun saya salut sekali dengan sikap Nina. Sejak
saat itu, saya berjanji dalam hati untuk melindungi diri sendiri dengan lebih
baik lagi. Dan hal pertama yang saya lakukan adalah memilih outfit yang nyaman
untuk dikenakan. Jika sewaktu-waktu ada yang berniat berbuat jahat, minimal
pilihan berbusana saya memudahkan untuk melawan ataupun lari untuk meminta
pertolongan.
Sayangnya
pakaian yang nyaman dan sopan dikenakan sesuai adat ketimuran ternyata tidak
menjamin seseorang terhindar dari kekerasan berbasis gender. Delapan belas
tahun yang lalu, tepatnya saat saya hendak menjenguk saudara di kabupaten
sebelah, saya mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama penumpang
bus. Sialnya pelaku adalah suami dari seorang ibu yang barusan saya tolong.
Merasa kasihan
dengan seorang ibu yang tengah menggendong bayi, saya reflek untuk memberikan
tempat duduk saya pada beliau. Tak disangka, penumpang lain yang sepertinya
suami ibu tersebut malah menggesek-nggesekkan kemaluannya di belakang saya.
Awalnya saya mengira hal ini terjadi atas dasar ketidaksengajaan. Ternyata kelakuan
bejat ini dilakukan berulang.
Tentu saja
selain menghindar, saya juga memelototi pelaku. Saya tidak mau pura-pura tidak
tahu meski dalam hati terbersit rasa takut. Setelah berhasil menghindar, ia
berlagak seolah tidak terjadi apa-apa. Tak lama berselang ternyata ia dan ibu
yang menggendong anak turun dari bis. Karena kemarahan saya sudah memuncak, dengan
lantang saya maki pelaku hingga ibu (yang kemungkinan besar adalah istrinya)
itu terlihat kaget.
Webinar Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud RI |
Puluhan tahun
berselang, ternyata kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah yang
membayangi negeri ini. Rasa malu dan kondisi ekonomi korban, ditambah dengan rendahnya
kesadaran hukum dan kuatnya budaya patriarki menjadi penyebab maraknya
kekerasan berbasis gender. Guna memberi edukasi sekaligus meminimalisir tindakan
kekerasan berbasis gender, pemerintah melalui Pusat Penguatan Karakter
kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyelenggarakan
Webinar dengan tema “Anti Kekerasan Berbasis Gender” dan “Kampus Merdeka dari
Kekerasan Berbasis Gender”.
Saya sepakat
dengan berbagai narasumber yang dihadirkan dalam webinar ini. Bahwa kekerasan
berbasis gender harus kita lawan mulai dari sekarang. Dari jaga, lindungi dan
edukasi diri sendiri, semoga dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang ada di
sekeliling kita.
Salam hangat
dari Jogja,
Retno
#CerdasBerkarakter #BlogBerkarakter #AksiNyataKita #LawanKekerasanBerbasisGender #BantuKorbanKekerasan