“Jika dirawat dengan baik, tikar
purun ini dapat bertahan hingga satu dasawarsa. Untuk membuat tikar besar dibutuhkan
tiga ikat purun, dengan harga per ikat sebesar Rp 10.000. Setelah ditumbuk dan
dianyam, tikar dijual seharga Rp 50.000. Di sini upah menganyam dianggap sebagai
keuntungan. Sebagai pekerjaan sampingan di waktu luang, rerata keuntungan sebesar
15 hingga 20 ribu rupiah per produk tidak begitu dipermasalahkan”, begitu
kira-kira informasi yang saya dapat usai berdialog dengan puluhan pengrajin
purun yang tergabung dalam Kelompok Karang Lansia Sejahtera di Banjarmasin, Jum’at,
21 Juli 2017.
“Kalau tikar berwarna harganya berapa,
Nek?”, tanya saya lebih lanjut.
“Sama saja, Nak”, jawabnya
pelan.
Pengrajin Purun di Banjarmasin (Retno Septyorini, 2017) |
Karena masih membidik segmen
lokal, kalau dijual dengan harga yang lebih mahal akan kalah bersaing dengan
pengrajin lain yang tidak perlu membeli bahan baku. Padahal jika mau berinovasi,
bukan tidak mungkin
produk purun buatan nenek-nekek Banjar yang dianyam begitu rapi dan kuat ini mampu
menembus segmentasi pasar premium yang lebih luas dan terarah. Di sinilah peran
kreativitas mutlak diperlukan.