Tugu Jogja |
“Perbedaan itu tidak
harus dikompromikan, tetapi perlu pengertian sehingga terwujud toleransi”, Sri
Sultan Hamengku Buwono X (dilansir dari Republika, 2016) (1).
Sebagai kota multikultural, nuansa Jogja terasa begitu
istimewa. Tidak hanya pada “raga” yang menyajikan aneka rupa tema wisata lengkap
dengan segala “pemanisnya”, namun juga pada “jiwa-jiwa” yang menyediakan arena yang
sebegitu nyamannya pada penghormatan atas perbedaan agama, suku maupun budaya.
Meski mayoritas warga Jogja merupakan muslim, namun kota
budaya ini dikenal pula dengan sebutan kota seribu candi. Tentu hal ini tidak
lepas dari banyaknya bangunan budaya berbentuk candi yang tersebar di berbagai
sudut Jogja, seperti Candi Prambanan, Candi Boko, Candi Ijo, Candi Pawon, Candi
Plaosan, Candi Sambisari dan masih banyak lagi. Uniknya, candi-candi tersebut
dirawat begitu baiknya, tidak hanya oleh pemerintah ataupun mereka yang melakukan
kegiatan peribadatan di sana, namun diperhatikan pula oleh komunitas yang
peduli akan keberlangsungan aneka rupa bangunan bersejarah di Jogja. Saya
pernah mendapati ada beberapa kawan yang sengaja mendaftar menjadi relawan yang
bertugas membantu membersihkan area candi dari balutan abu. Aktivitas semacam
ini tentu tidak akan terjadi jika tak ada sikap peduli, pun toleransi yang terbilang
cukup tinggi.
Berbicara tentang toleransi, membuat saya mengingat-ingat
akan ragam memori yang terukir di kota cantik ini. Pernah suatu ketika, kawan penelitian
saya bertanya, “Tahu nggak Ret,
kenapa mas-mas yang membantu mengatur jalan di samping masjid tadi bisa datang tepat
waktu, baik sebelum isya maupun setelah sholat taraweh?”. Waktu itu saya hanya
menggelengkan kepala, tanda tidak tahu.
Tak disangka, saya mendapat jawaban yang begitu mengendap di
kepala, atau mungkin takkan terlupa, “Dia non muslim Ret, namun tak ragu meluangkan
waktu untuk membantu mengatur jalan saat Bulan Ramadhan”. Tak heran jadinya jika
Oktober tahun lalu Jogja didaulat sebagai tuan rumah dalam dialog lintas agama
dan budaya oleh Negara-negara yang tegabung dalam MIKTA, meliputi Meksiko, Indonesia,
Korea Selatan, Turki dan Australia. Alasannya mudah saja, kota cantik ini begitu
menjunjung tinggi toleransi.
Rumah yang Bertumbuh
Jika dianalogikan sebagai sebuah rumah, Jogja bukanlah tempat
tinggal yang sedari awal menawarkan fasilitas serba ada. Meski demikian, Jogja ibarat rumah
yang tumbuh seiring keperluan akan pemenuhan kebutuhan para penghuninya. Jogja
berhati nyaman bukan sebuah slogan belaka, namun nyata adanya. Hal ini tampak
dari berbagai cara yang ditempuh aktor setempat, mulai dari pemerintah hingga pelaku
kreatif yang tersebar dalam berbagai kanal, seperti komunitas, pekerja seni
ataupun pelaku ekonomi yang begitu kreatif membangun Jogja menjadi begitu
istimewa.
Dalam membuat Jogja berhati nyaman, pemerintah berupaya keras
memperbaiki berbagai fasilitas publik, mulai dari membenahi kawasan Malioboro
dengan membuat jalur pedestrian yang lebih luas hingga menetapkan aturan parkir
yang jelas bagi kendaraan bermotor. Tak ayal pusat wisata di tengah kota yang
selalu berbenah diri ini tetap menjelma menjadi salah satu destinasi wisata idola
semua-semua.
Dalam segi infrastruktur, dibuatnya Jalur Jalan Lintas
Selatan cukup memudahkan wisatawan yang ingin menikmati liburan di berbagai pantai
di kawasan Gunungkidul melalui jalur Bantul. Berkat jalur baru ini, deretan
pantai berpasir putih khas Gunungkidul seperti Pantai Krakal, Kukup, Sadeng,
Sundak, Nyadranan hingga Pantai Indrayanti dapat diakses melalui Jalan
Parangtritis.
Di sisi lain, Jogja juga meletakkan penghormatan yang begitu
tinggi pada hak-hak minoritas. Hal ini terpancar dari beberapa fasilitas publik
yang dibuat pemerintah seperti adanya jalur kuning yang mengelilingi Alun-Alun
Selatan Jogja ataupun terdapatnya area khusus di Bus Trans Jogja yang dapat
dipergunakan untuk meletakkan kursi roda.
Salah Satu Pantai di Gunungkidul |
Penghormatan pada kaum minoritas ini juga didukung oleh
pengelola tempat wisata, salah satunya adalah kebun binatang kebanggaan warga
Jogja, Gembira Loka Zoo (GL Zoo). Di sini ada jalan yang dibuat menurun dengan
permukaan yang begitu halus sehingga dapat dilewati oleh pengguna kursi roda. Dengan
berbagai fasilitas yang ada, tidak heran rasanya jika banyak yang berlomba agar
segera kembali ke kota cantik ini untuk sekedar mengenang memori, mengadu mimpi atau
bahkan menghabiskan masa tua yang begitu dinanti-nanti.
Dengan berbagai fasilitas yang kini tersedia di Jogja, jangan
heran kiranya jika Anda mendapati banyak slogan yang begitu njogjani, pun ngangeni, seperti:
Belum lengkap rasanya
liburan ke Jogja kalau belum mengambil foto di kawasan Tugu.
Belum ke Jogja kalau
belum menjejakkan kaki di Malioboro.
Belum disebut ke Jogja
kalau belum nyicip gudeg, sate
klatak, wedang uwuh, kopi jos, bakpia beserta sederet kawan-kawannya.
Belum lengkap rasanya
ke Jogja kalau belum nyobain masangin ataupun jemparingan.
Dan masih banyak lagi.
Buah karya para pelaku
ekonomi kreatif ini tentu patut dipuji. Selain membuka begitu banyak lapangan
kerja, hal ini tentu mampu menggerakkan roda perekonomian Jogja menjadi kian
istimewa. Berbagai slogan di atas tak pelak menunjukkan betapa kreatif dan eloknya
warga Jogja dalam menjamu tamu-tamu yang seolah tak pernah jemu meski dimakan
waktu.
Tempat Ngangsu Kawruh yang Tak Pernah Bikin Rikuh
Selain dikenal sebagai kota wisata, Jogja juga sebagai tempat
ngangsu kawruh yang tak pernah bikin
rikuh. Dalam Bahasa Jawa, ngangsu kawruh
berarti belajar. Selain menyediakan puluhan sekolah dan universitas kenamaan, Anda dapat belajar berbagai hal di tempat-tempat yang jarang terduga.
Bisa belajar ramah tamah karena disapa duluan oleh warga lokal, bisa belajar Bahasa Jawa tatkala membeli pecel
senggol di depan Pasar Beringharjo ataupun saat menawar harga dengan menyebut
kalimat tanya semacam, “Segandok piro?”, pun dapat berlatih
kesabaran saat kemecer berwisata kuliner di berbagai warung kenamaan yang menjual aneka kudapan
yang dibuat porsi per porsi. Bukankah suasana yang demikian nyaman dan indah ini merupakan representasi dari negeri kita sendiri? Karena itulah, menjadi Jogja, menjadi Indonesia.
Salam hangat dari Jogja,
Retno
Daftar pustaka:
1.
Yogyakarta Contoh Multikultural. Republika, 2016. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/18/of94u6396-yogyakarta-contoh-multikultural
0 komentar:
Posting Komentar