Salah Satu Binaan Dompet Dhuafa di Jogja |
Saya tertegun membaca
kalimat pada sebuah baliho sederhana di sebuah Kebun Lidah di kawasan Nglipar
Gunungkidul.
“Saya berdaya berawal
dari zakat Anda”.
Sungguh, belum pernah
terpikirkan sebelumnya bahwasanya dana zakat yang jumlahnya tak seberapa itu
dapat menuai manfaat sebegitu besar bagi banyak pihak yang yang membutuhkan.
Di sebuah kawasan yang
dulunya dikenal gersang, kini mulai berdaya berkat budidaya lidah buaya. Begitu
kira-kira isi di kepala saya saat bus yang kami tumpangi memasuki kawasan
Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul pada Rabu, 09 Mei 2018 lalu. Bagaimana tidak,
tempat yang dulu dikenal sebagai kawasan minim air ini kini ditumbuhi ribuan
tanaman lidah buaya raksasa dimana satu pelepahnya saja bisa mencapai berat
maksimal hingga satu kilogram. Hmm,
bisa dibayangkan ukuran lidah buaya yang berhasil dibudidayakan di kawasan ini
bukan?
Sebagai bagian dari
negara tropis, musim kemarau di Nglipar menawarkan cuaca yang cukup panas.
Setelah turun dari bus, kami sempat kaget karena ternyata kami dijamu bak tamu
undangan. Ada tenda yang sengaja dipasang lengkap dengan kursi besi dengan
bentuk yang begitu khas, yang biasa disewa saat tuan rumah tengah menggelar
hajatan. Wadauw, mendadak kami begitu
haru^^
Berbincang dengan Ibu Sumarmi Langsung di Dapur di Sebelah Kebun Lidah Buaya |
Dari sekian kali usaha
pertanian yang pernah dilakukan, pada lidah buaya lah kegigihan Bu Sumarmi ini
menuai hasil yang cukup menggembirakan. Begitu kira-kira yang saya tangkap usai
mendengarkan cerita ibu paruh baya ini. Menariknya, meski berdomisili di desa
yang notabene sangat cukup jauh dari pusat kota Jogja, namun Ibu Sumarmi
dan tim tidak takut untuk berinovasi mengolah daging lidah buaya menjadi
berbagai produk dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kata beliau, daging
lidah buaya hasil budidaya di sekitar tempat tinggalnya itu kini sudah berhasil
diolah menjadi beberapa produk turunan yang laku di pasaran seperti dodol,
permen, cendol hingga nata de aloe
vera.
“Monggo lho dicicipi nata de aloe veranya”, pungkasnya
kemudian.
Nata de Aloe Vera-nya Langsung Diserbu ^^ |
Dengan raut malu-malu
tapi mau^^, akhirnya satu per satu dari kami pun bergegas menuntaskan rasa
penasaran dengan langsung mencicipi minuman kekinian bertajuk nata de aloe vera ini.
“Ada
paduan rasa unik yang menyita perhatian indera pencecap saya tatkala menyeruput
olahan minuman buatan kelompok tani yang digawangi Bu Sumarmi. Selain mengusir
dahaga sekaligus menyegarkan tenggorokan, nata de aloe vera yang tersaji dalam
keadaan dingin ini juga memberi efek mengenyangkan. Potongan daging lidah buaya
yang melimpah dipadu apik dengan air gula batu, daun pandan dan biji selasih
dalam komposisi yang pas sehingga jauh dari kesan eneg. Over all, minuman ini
lolos uji rasa dari seorang anak bawel yang hobi kulineran tapi dianugerahi tenggorokan yang cukup sensitif dengan pemanis buatan. Kabar baiknya, saya tidak batuk usai minum olahan lidah buaya dari Nglipar ini. Yeay!”.
Cukup tercengang rasanya
mendapati fakta bahwasanya ada sentra budidaya sekaligus produksi minuman
kekinian berbahan lidah buaya di Jogja. Yang saya tahu, sentra aneka rupa
olahan lidah buaya di Indonesia itu tidak berada di Jogja, melainkan banyak dibudidayakan
di Pulau Kalimantan sana. Selain pernah menemukan produk lidah buaya khas
Kalimantan di salah satu supermarket kenamaan di Jogja, tenarnya budidaya aloe vera di Pulau Kalimantan
juga diperkuat dengan tawaran bisnis daging lidah buaya yang pernah saya terima
dari seorang sahabat yang bertugas di kawasan Pontianak, Kalimantan Barat.
Meski berkesempatan mencicipi nata de aloe
vera langsung di lokasi budidaya-nya, rasanya kaya mimpi di siang
bolong tapi nyata. Campur aduk gitu lho!
Belum habis keheranan
saya akan inovasi olahan lidah buaya yang saya cicipi siang itu, saya kembali
terhenyak saat diajak menuju kebun lidah buaya yang terletak di belakang rumah
Ibu Sumarmi. Gimana enggak coba, segala proses dari hulu ke hilir terkait budidaya lidah buaya
di kawasan ini ternyata dihandle sendiri oleh ibu-ibu rumah tangga di sana. Jadi
jangan heran jika mereka bisa membuat sendiri komposisi kompos yang pas untuk
menghasilkan lidah buaya organik tapi berdaging tebal. Hmmm… Selain itu, bu-ibu yang kami temui di Nglipar kali ini juga
lihai membuat komposisi media untuk pembibitan, juga pembesaran lidah buaya. Ya
ampun buuuuuk, belajar dimana sih? Gemazzz akutuuuuh!!!
Hulu - Hilir Budidaya
Lidah Buaya
Supaya pertumbuhannya
maksimal, pembibitan dan pembesaran tanaman lidah buaya dilakukan pada media
yang berbeda. Bibit lidah buaya ditaman dalam polybag yang berisi kombinasi
tanah, pupuk kompos dan sekam padi.
Sewaktu saya bertanya tentang fungsi sekam pada media pembibitan, salah satu ibu yang mendampingi kami di kebun dengan cekatan menjawab, "Untuk menambah pori-pori tanah pada media pembibitan Mbak", jawabnya ramah. Dari hal-hal sesederhana ini, potensi warga di desa, tidak terkecuali para ibu rumah tangga tidak bisa dipandang sebelah mata lagi bukan?
"Setelah berusia 3-4 bulan, bibit lidah buaya baru ditanam di area kebun yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan tanaman lidah buaya, juga peranakannya. Setelah berbunga, pelepah lidah buaya yang berada di sisi bawah bisa segera dipanen untuk diolah menjadi berbagai produk turunan seperti permen, dawet ataupun nata de aloe vera", terang salah satu ibu yang menemani kami berkeliling kebun untuk melihat proses budidaya lidah buaya secara menyeluruh.
Waduh, kebayang lagi deh segarnya nata de aloe vera yang tadi sempat dicicipi!
Belum usai saya
geleng-geleng kepala karena pengetahuan ibu-ibu di sini, kami diajak menuju dapur. Jadi usai jelajah kebun, kami langsung diajak untuk
melihat seluk beluk pembuatan cendol dan nata de aloe vera. Apa perbedaan keduanya? Ternyata perbedaan cendol
dan nata de aloe vera terletak pada penambahan air dan pemanis yang digunakan. Kalau cendol diberi campuran
air santan dan gula aren, kalau nata de aloe vera diberi campuran air gula
batu. Karena diberi tambahan santan, cendol aloe vera hanya mampu bertahan
selama satu hari saja, sedangkan nata de aloe vera dapat bertahan hingga empat hari (dalam keadaan dingin / disimpan di lemari es).
Sewaktu saya bertanya tentang fungsi sekam pada media pembibitan, salah satu ibu yang mendampingi kami di kebun dengan cekatan menjawab, "Untuk menambah pori-pori tanah pada media pembibitan Mbak", jawabnya ramah. Dari hal-hal sesederhana ini, potensi warga di desa, tidak terkecuali para ibu rumah tangga tidak bisa dipandang sebelah mata lagi bukan?
"Setelah berusia 3-4 bulan, bibit lidah buaya baru ditanam di area kebun yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan tanaman lidah buaya, juga peranakannya. Setelah berbunga, pelepah lidah buaya yang berada di sisi bawah bisa segera dipanen untuk diolah menjadi berbagai produk turunan seperti permen, dawet ataupun nata de aloe vera", terang salah satu ibu yang menemani kami berkeliling kebun untuk melihat proses budidaya lidah buaya secara menyeluruh.
Waduh, kebayang lagi deh segarnya nata de aloe vera yang tadi sempat dicicipi!
Nata de Aloe Vera, Cukup 3000 Saja! |
Perjumpaan saya dengan
minuman kekinian di kawasan Nglipar kali ini merupakan bagian dari acara
bertajuk Care Visit. Sebuah kegiatan rutin untuk mengeksplor sekaligus
mewartakan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Dompet
Dhuafa, dalam hal ini adalah Dompet Dhuafa Cabang Jogja.
Tahun lalu, kelompok
usaha budidaya lidah buaya yang digawangi Ibu Sumarmi mendapatkan bantuan 5000 bibit lidah
buaya dari Dompet Dhuafa. Jadi jangan heran jika kawasan yang dulu dikenal
kering ini, kini mulai berdaya dengan lidah buaya. saat ini ribuan tanaman lidah
buaya binaan Dompet Dhuafa ini pun kian "mengepakkan sayapnya". Hal ini dapat dilihat dari bertambahnya produksi produk olahan lidah buaya. Jika penasaran seperti apa
segarnya olahan lidah buaya khas Nglipar ini, kawan-kawan dapat mengikuti akun @rv_aloeindustries
di Instagram atau FB Rasane Vera.
Kisah sukses Ibu Sumarmi
dan tim kecilnya di Dusun Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunung Kidul ini merupakan contoh kecil
pemberdayaan masyarakat yang berhasil dibiayai oleh zakat. Bisa dibayangkan
betapa besar potensi pengembangan masyarakat dari dana zakat bukan?
Oiya, jika kawan-kawan merasa kerepotan untuk membayar zakat secara manual, Dompet Dhuafa memberikan kemudahan fasilitas untuk menyalurkan zakat, donasi maupun kurban kawan-kawan semua. Jika masih kebingungan, website Dompet Dhuafa juga dilengkapi dengan fitur konsultasi, kalkulasi zakat hingga gambaran berbagai program pemberdayaan yang dilakukan Dompet Dhuafa.
Karena zakat Anda, ada banyak orang yang bisa berdaya di luar sana.
Oiya, jika kawan-kawan merasa kerepotan untuk membayar zakat secara manual, Dompet Dhuafa memberikan kemudahan fasilitas untuk menyalurkan zakat, donasi maupun kurban kawan-kawan semua. Jika masih kebingungan, website Dompet Dhuafa juga dilengkapi dengan fitur konsultasi, kalkulasi zakat hingga gambaran berbagai program pemberdayaan yang dilakukan Dompet Dhuafa.
Salam hangat dari Jogja,
-Retno Septyorini-
“Tulisan ini diikutsertakan
dalam Kompetisi Blog Berawal Dari Zakat,
#25thnMembentangKebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa cek info lomba di
donasi.dompetdhuafa.org/lombablog”
Wah berarti sekali ya apa mereka zakatkan, sangat membantu pokonya
BalasHapus